Tuesday, July 9, 2013

Resensi Film Jomblo (2006)

with 0 comments

Resensi Film ”Jomblo”

Judul: JOMBLO
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Salman Aristo, Adhitya Mulya, Hanung Bramantyo
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Christian Sugiono, Denis Adhiswara, Rizky Hanggono, Rianti R. Cartwright, Nadia Saphira, Tike Priatna Kusumah
Produksi: SinemArt Pictures

Sebuah karya Hanung Bramantyo yang memotret petualangan cinta empat mahasiswa. Kental dengan pesan moral dan disajikan dengan pendekatan karikatural.
Empat mahasiswa, empat pasang mata, empat keinginan untuk punya pacar dan tidak jadi jomblo. Empat mahasiswa Universitas Negeri Bandung jurusan teknik sipil itu sedang mencari jodoh di kampus sebelah. Sadar bahwa di almamaternya tak ada keadilan gender (jumlah cewek lebih sedikit), mereka pasang mata di kantin, mencari mahasiswi bening dan rupawan.
Sejak awal film, kita langsung saja tahu keempatnya melalui Agus (pendatang baru berpotensi, Ringgo Agus Rahman). Doni (Christian Sugiono) yang ganteng dan banyak pacar berfungsi jadi dokter cinta yang memberi saran bagaimana membuat cewek nyaman. Bimo (Denis Adhiswara yang bersinar) lebih bernyali dengan kepulan cannabis sativa dan mengobrol di telepon. Olip (Rizky Hanggono dengan kemampuan seni peran yang sangat terbatas) lebih suka mengintip cewek pujaan melalui kamera ponselnya. Dan Agus, tokoh kita, banyak omong, banyak kepusingan karena punya dua pacar dan bingung memilih.
Bila kita sudah mulai sebal, bosan, atau abai pada film bertema cinta, ini saatnya boleh mengalihkan perhatian. Film ini sebuah karikatur dalam arti plot dan harfiah tentang cinta lelaki.
Kita kemudian memahami alasan lelaki untuk berselingkuh, alasan lelaki untuk akhirnya mencoba setia, atau bagaimana lelaki bisa bubar persahabatan hanya karena merasa kawasannya diganggu lelaki lain. Dengan kata lain, lelaki menganggap perempuan sebagai teritorinya yang tak boleh disentuh (sementara dia boleh, dong, berkunjung ke kawasan lain).
Tidak banyak yang menyadari keistimewaan Hanung bahkan setelah dia mendapat gelar sutradara terbaik bahwa dia adalah sutradara yang sangat teliti dan sangat memperhatikan kultur Indonesia. Artinya, Saudara-Saudara, dia tak akan mencangkokkan sebuah konsep Amerika dan memaksakan sebuah plot ke sebuah Indonesia. Mungkin karena latar belakangnya di dunia teater atau pengalamannya magang di Teater Populer. Yang jelas, meski film-film yang disutradarainya selalu berkategori ringan, Hanung menggarapnya dengan serius.
Penanganannya terhadap pemain juga serius, meski memang keempat pemain belum tampil merata. Kecuali Rizky Hanggono, ketiga aktor lain tampil bagus. Para pemain perempuan pun bersinar. (Nadia Saphira dan Denis Adhiswara boleh dilirik dengan serius.)
Ciri khas Hanung yang lain adalah filmnya cenderung sangat bermoral. Artinya, tokoh-tokohnya pasti akan memutuskan menjadi orang baik (ada mahasiswa yang membuang kondom meski pacarnya sudah menanti dengan penuh harap, ada mahasiswa yang akhirnya bertahan dengan pacar pertama, dan seterusnya). Doni si tukang bercinta tak lagi sembarangan menumpahkan kelenjarnya, Bimo kualat tak pernah dapat pacar karena tak pede melepaskan kesetiaan ganjanya. Pokoknya, semua ada sebab akibat, deh. Tokoh-tokohnya memang bandel. Tapi baik. Hanung terobsesi membawa pesan baik.
Film yang banyak memakai teknologi mix karikatural dengan tempo cepat ini sebuah cara Hanung berekspresi. Seperti spirit film Y Tu Mama Tambien (2001) karya sutradara Meksiko, Alfonso Cuaron, mengenai cinta, persahabatan, dan seks; juga film American Splendor (2003) mengenai kisah komikus Harvey Pekar.
Referensi klik

0 comments: